Deskripsi
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, hukum acara pidana Indonesia menggunakan Inlands Reglements (IR) Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16 kemudian diganti dengan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 sedangkan yang berlaku bagi bangsa eropa adalah Reglement Of Strafvordering (Rv). Bahwa kedua undang-undang tersebut dibuat oleh penjajah yaitu belanda, dengan mana hukum yang diberlakukan bagi negara jajahan sudah barang tentu tidak mencerminkan Hak Asasi Manusia (HAM). Ditambah lagi setelah proklamasi kemerdekaan undang-undang tersebut tetap berlaku berdasarkan Pasal 1 aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan:
Bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
D.Y. Witanto mengungkapkan HIR dibuat pada masa kolonial, sehingga belum memuat konsep perlindungan HAM bagi pihak tersangka/terdakwa. HIR dan RBg tidak menentukan secara tegas tentang pembatasan kewenangan pejabat yang melakukan pe-meriksaan dalam melakukan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan untuk kepentingan peme-riksaan penyidikan maupun penuntutan. Dari uraian yang dike-mukakan oleh D.Y. Witanto tersebut dapatlah disimpulkan bahwa penegakan hukum acara pidana saat itu tidak ada formalisme/ prosedur yang mengikat penegak hukum dan sudah barang tentu hal demikian melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan tidak adanya kewajiban pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penegakan hukum apalagi memuat upaya bagi tersangka untuk menuntut perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum, berbeda saat ini dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana tersangka dapat mengajukan permohonan praperadilan.
Ulasan
Belum ada ulasan.